- Posted by : Adi Mulyadi
- on : Friday, September 24, 2021
Refleksi
Sejarah Kebangkitan At-tafsiri
By : Bouya Syams
الحمد لله رب العالمين الذى ارسل سيدنا محمدا صلى الله عليه وسلم رحمة للعالمين وفضل العلماء باقامة حجج الدين واكرم الاولياء بظهور الكرامة الخوارق التى هى من معجزات سيد المرسلين وخص من شاء من اتباع ملته بالرقى الى درجة العارفين الصلاة والسلام على اشرف الانبياء والمرسلين وعلى اله واصحابه اجمعين السالكين على منهجه القويم
اما بعد
Inilah Biografi (manakib) KH.Ilyas Tafsiri yang biasa disapa Mama, beliau adalah sosok yang familier dan humoris namun tetap menjaga etika, beliau adalah sosok pejuang cita cita yang pantang menyerah, sehingga beliau sangat menghargai hasil dari sebuah perjuangan, beliau begitu tawadhu dan penyayang, beliau adalah sosok pribadi yang memiliki prinsip “yang cape pasti sukses, yang sukses pasti cape” beliau begitu gigih dan memiliki keinginan kuat, beliau adalah sosok pekerja keras yang tidak mengenal putus asa, karena beliau yakin bahwa segalanya bisa dan harus diperjuangkan, seseorang jangan dulu pasrah dan mengatakan “tidak mampu” sebelum berjuang dan mencoba, kekurangan dan keterbatasan ekonomi bukan alasan untuk tidak sukses, ketiadaan salahsatu orangtua tidak bisa dijadikan pembenaran untuk gagal sukses.
اِنَ اللهَ لَا يُغَيِرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِرُوا مَابِاَنْفُسِهِمْ
Tulisan ini terlahir sebagai sebuah bentuk kecintaan kepada beliau dan peng abadian pada prinsip prinsip perjuangan beliau dalam meraih cita cita dan kebahagiaan dunia dan akhirat, yang tentunya kesemuanya dapat dijadikan pelita dalam melewati gelap dan terjalnya kehidupan yang akan dilewati oleh generasi setelahnya, terutama keturunan keturunannya, meskipun beliau tidak berharap apalagi memaksa kepada anak anaknya untuk menjadi seperti beliau, namun tersirat dari ucapan ucapannya bahwa dalam menjalani hidup harus memiliki prinsip, karena prinsip itulah yang akan menjadi benih benih dalam membuat keputusan, sikap beliau memberikan isyarat bahwa “siapapun hanya akan menuai apa yang telah dikorbankan”
المعونة بقدر المؤنة الاجرة بقدر المشقة
Penulis berharap, semoga tulisan ini menjadi pelita yang dapat menerangi langkah kaki generasi setelahnya serta menjadi oase yang menyegarkan para murid muridnya dalam mengarungi bahtera kehidupan dan tentunya dapat menjadi katalisator penumbuh rasa cinta kepada beliau sehingga berusaha mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap frasa yang tersurat dan mengambil hikmah yang tersirat sehingga pada akhirnya mampu berkarya yang bermanfaat sepanjang masa,
Akhir kata…
Hanya kepada Allah jua kita memohon pertolongan dan semoga kita dikumpulkan Bersama orang orang yang sholih dalam naungan Ridho Allah.
بالله فى سبيل الحق والله المستعان وعليه التكلان
والحمد لله رب العالمين
بسم الله الرحمن الرحيم
Masa Kecil
Mang Iil atau Mang Iyas begitulah teman temannya memanggil ketika beliau mondok di pesantren Benjot, beliau dilahirkan pada tahun 1950 dari keluarga yang boleh dikatakan “serba kekurangan”, belum lagi beliau memang di asuh dan dibesarkan oleh orangtuanya yang hanya sebelah, yaitu Abu Juariah, sementara ayahnya yang bernama bapak Haji Yusuf telah kembali keharibaan yang Maha Kuasa sejak beliau berumur tidak lebih dari dua tahun, jadi dapat dipastikan beliau adalah salahsatu anak yang tidak pernah merasakan belaian kasih sayang dan menikmati bagaimana asyiknya bermain dipunggung ayahnya, berbeda dengan kedua kakak nya yaitu Hj Fatimah dan mamah Ubed, dimana mereka tumbuh hidup dan dewasa dengan asuhan kedua orangtua secara normal.
Berbeda dengan kedua saudaranya, beliau hanya diasuh dan dibesarkan oleh sang ibunda saja yang bahkan terkadang beliau sering ditinggal karena alasan sang ibunda harus berkeliling kampung untuk berdagang. Hingga suatu saat pada usia 6 atau 7 tahun seperti layaknya anak seusianya, beliau disekolahkan di SR (Sekolah Rakyat) sekarang menjadi Sekolah Dasar (SD) yang berada tidak jauh dari rumah kediaman beliau, yaitu Kampung Cipoek (sekarang Neglasari) desa Cibanggala, yang sekarang dipecah menjadi lima desa, yaitu Campakawarna, Campakamulya, Sukabungah, Sukasirna dan Cibanggala, dimana kelima desa itu berada dibawah wilayah hukum kamantren / kecamatan Campaka, namun pada akhirnya dipecah menjadi dua kecamatan, yaitu Campaka dan Campakamulya.
Masa kecilnya dilalui seperti layaknya anak anak yang tinggal dan dibesarkan diperkampungan, yang tentunya tidak jarang bermain disawah, kebun dan bahkan ke hutan, bahkan sepulangnya sekolah beliau biasa menjadi tukang angon kerbau milik saudaranya, hal itu berjalan cukup lama bahkan kerapkali beliau ikut bekerja sebagai kuli memanen padi didaerah Cibeber,
Pada usia 13 tahun atau ketika beliau telah menamatkan sekolah dasarnya, barulah beliau mulai belajar agama, dan guru pertamanya adalah Abah Sa’ad yang tinggal di kampung Cintawangi Cibanggala yang berada tidak jauh dari kampung halamannya, Abah Sa’ad adalah salahsatu keturunan dari Ama Cibitung yang berhijrah ke Cintawangi desa Cibanggala, yang juga merupakan salahsatu murid Abuya Benjot yang kelak akan menjadi guru ketika beliau mondok di Benjot, namun karena beliau memang masih terbilang anak anak dengan situasi yang kurang mendukung maka belajar di Abah sa’ad ini tidak berjalan lama.
Menjadi Murid dan SantriBenjot
Atas dasar informasi dan masukan dari beberapa orangtua termasuk guru pertamanya, maka pada tahun 1970 akhirnya beliau berangkat ke pesantren dimana gurunya pernah menimba ilmu, yaitu Pesantren Sukasirna Benjot (sekarang menjadi Riyadlul Alfiyah) yang beralamat di kampung Sukasirna desa Benjot kecamatan Cugenang kabupaten Cianjur untuk berguru dan menimba ilmu dan meminum air barokahnya Abuya seperti yang pernah dilakukan oleh gurunya, yaitu menjadi murid dari KH. Saefudin Muhri atau di sapa dengan sebutan Abuya Benjot.
Mungkin karena memang beliau telah mulai remaja dan berfikir dewasa maka beliau disana mampu menyelesaikan mondok tidak kurang dari tiga tahun, pahit manis dilewati dengan penuh kesabaran bahkan tidak jarang kepahitan dan kesengsaraan selalu mampir dalam hari hari beliau, baik dalam bentuk kekurangan bekal maupun yang lainnya, bahkan sampai ujian fisikpun tidak terlewatkan, salahsatu ujian yang kental disematkan kepadanya adalah ujian penyakit kulit (Budug) dan hal itu berlangsung cukup lama, hingga hal itu menjadi sematan Laqob dari teman temanya yaitu “Raja Budug”
Meski dengan kondisi demikian beliau tetap sabar dan istiqomah baik dalam belajar maupun dalam ibadah, beliau termasuk orang yang selalu mengurangi tidur malam dan makan siang, beliau selalu bangun secara istiqomah mulai jam 02.00 sampai subuh tiba, dan bahkan beliau termasuk santri yang rajin berpuasa, dan bahkan kebiasaan itu tetap dilakukan sampai dewasa dan bahkan sampai usia beliau menjelang sepuh, baik dalam keadaan santai maupun sibuk, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun beliau selalu menyempatkan untuk bangun malam.
Ketika dipondok beliau terbilang anak yang rajin mengaji, beliau menyukai kitab kitab alat, mulai dari Alfiyah, Jauhar maknun, Waladiyah, Syamsiah, Mantiq, bahkan dua belas fan beliau pelajari dengan penuh kesungguhan secara talaqqi dari sang guru, bahkan beliaupun sangat gemar membaca aurod aurod dan hizib hizib setiap hari, hizib Bahie, hizib Nashr dan amalan Basmalah serta yang lainnya merupakan konsumsi yang wajib beliau baca dengan khusu’
Pengalaman Spiritual Seribu Bulan
Hari demi hari beliau jalani di pesantren Benjot tanpa keluhan, beliau manfaatkan detik demi detik dengan penuh kekhusyuan, tak ada malam terlewatkan tanpa tahajjud dan membaca Aurod, tak ada hari terlewatkan dengan perut kenyang dan muthola’ah kitab, hingga ketika suatu malam tiba, ketika mondok beliau telah menghabiskan waktu selama dua tahun lebih, beliau terpilih oleh Allah untuk menyaksikan keajaiban dan kemuliaan yang hanya berulang setahun sekali, dan mendapatkan “pertanda baik”, yaitu beliau merasakan nikmatnya tanda tanda Lailatul Qodar, tepatnya pada malam 27 Rhamadhan 1976 seperti biasanya beliau bangun malam dan bertahajjud serta menyempatkan untuk muthola’ah kitab, tepat pada penghujung malam beliau merasakan ruangan kamarnya dipenuhi cahaya yang tidak biasa, dengan perasaan penuh tanda tanya akhirnya beliau keluar kamar untuk memastikan bahwa waktu itu memang bukanlah siang, tetapi tengah malam yang gelap gulita, namun sebelum tanda tanya dan keheranannya terjawab, beliau justru dibingungkan lagi dengan menyaksikan peristiwa luar dari kebiasaan dan tidak biasa, yaitu melihat pohon kelapa terlihat condong (seolah bersujud) dan menyaksikan air seolah olah “menggumpal” layaknya agar powder, namun kebingungannya segera sirna ketika beliau dapat meyakinan fikirannya, bahwa semua itu adalah salahsatu pertanda Lailatul Qodar, dengan kekuatan keyakinan itu akhirnya beliau segera menyempatkan mengambil air yang menggumpal dan meminumnya.
Selang beberapa saat setelah kejadian malam itu, maka beliau merasakan suatu perbedaan yang sangat signifikan dalam dirinya, dimana beliau merasa kitab kitab yang sebelumnya dianggap sulit difahami bahkan kitab yang belum sempat khatampun terasa mudah untuk difahami, beliau meyakini bahwa semua itu adalah buah keajaiban malam yang pernah di lalui beberapa waktu lalu, yaitu malam penentuan atau Lailatul Qodar.
Pengembaraan ke Wilayah Kulon dan Wetan
Tiga tahun tak terasa telah berlalu, dimana beliau meneguk air berkah dan menyerap ilmu di pesantren Benjot dari Abuya dan anak serta menatunya, maka tibalah saatnya beliau berkeinginan untuk keluar dan meninggalkan pesantren Benjot, dan atas restu dan doa dari abuya, maka beliau memilih Warudoyong Sukabumi sebagai tempat pilihan belajar dan menyerap ilmu dan barokah selanjutnya, maka akhirnya beliau pindah dan menjalani mondok di Warudoyong, namun hal itu beliau jalani hanya tiga bulan, sebelum akhirnya beliau melanjutkan pengembaraannya ke wilayah kulon alias daerah Banten, setelah beliau melewati tiga bulan di Warudoyong, akhirnya beliau berangkat menuju wilayah kulon alias Banten, pengembaraan beliau di daerah Banten hanya enam bulan, selama disana beliau berkesempatan berguru kepada ulama ulama sepuh disana, diantaranya Abah Haji Damanhuri Kadukaweng, Abah Haji ‘Akib Pasarnangka dan terakhir berguru kepada Buya Armin serta Abuya Dzul Manan Rangkas Bitung.
Setelah kelananya dirasa cukup, maka akhirnya beliau melanjutkan dan melampiaskan kehausan ilmunya ke arah wetan tepatnya ke daerah Tasik, selama kurang lebih tiga bulan beliau mondok di daerah Tasik yaitu Pondok yang merupakan Murid dari Mama Banjar, disana beliau konsentrasi mempelajari Kitab Fathul Mu’in, sebelum akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan cara mempersunting putri pertama dari Bapak Haji Jandan yang tinggal di Pasirpanjang Kecamatan Cibeber yang Bernama Ningrum (selanjutnya dikenal dengan nama Umi Haji Maswaroh).
Menjalani Hidup Berumah Tangga
Setelah pernikahannya dengan putri dari Bapak Haji Jandan maka beliau mulai hidup dengan menyandang status baru yaitu seorang suami alias kepala rumah tangga, dalam menjalani hidup barunya selama kurang lebih beberapa bulan beliau masih tinggal di Cibeber bersama mertuanya dengan harapan dibuatkan pondok dan madrasah, namun meskipun telah dijalani dengan waktu yang dianggap cukup lama namun beliau belum juga mendapat jawaban tentang keinginannya memiliki madrasah dan pondok, kondisi itulah yang menjadikan beliau belum dapat memutuskan dimana harus menetap (istiqomah), terbukti beliau terkadang masih pulang pergi antara kampung sang istri dan kampung kelahirannya sendiri, dan hal itu dijalani dengan perasaan gamang diantara dua pilihan.
Hingga suatu saat, masih dalam kegamangannya beliau menyempatkan untuk Ijazah ke Mama Haji Siroj Cangkorah Bandung, dan juga beliau menyempatkan datang dan berkonsultasi ke gurunya di pesantren Benjot, yaitu Abuya Saefudin Muhri dengan harapan mencari keberkahan dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, hingga pada akhirnya Abuya sempat mendoakan beliau dengan kalimat “Jago Kiayi Pangbeungharna” dan juga Abuya berinisiatif untuk me mukimkan beliau dari Benjot secara seremonial, dan prosesi pemukiman di pandu oleh salahsatu menantu Abuya sendiri, yaitu KH.Oking Najmudin yang familier di sapa dengan sebutan Ajengan Anom, proses pemukiman waktu itu diikuti oleh beberapa santri dengan melantunkan bait bait sy’ir Nadzom Alfiyah ibnu Malik yaitu salahsatu kitab yang menjadi kesukaan Abuya, karena itulah pada akhirnya pesantren Sukasirna Benjot berubah nama menjadi Riyadlul Alfiyah.
Perjuangan Merintis Pesantren
Meski telah dimukimkan ke Pasirpanjang dan diyatakan telah mukim, namun beliau masih belum bisa memastikan untuk tetap tinggal dan istiqomah di pasirpanjang, kecuali sampai beliau dibuatkan madrasah dan Pondok oleh mertua, namun harapan itu masih hanya sebatas asa karena sang mertua belum juga mengabulkan harapannya, namun keinginan beliau untuk mendirikan pesantren begitu sangat kuat meski tidak didukung oleh kondisi ekonomi yang memadai, hingga akhirnya ditengah ketidakpastian sang mertua untuk meluluskan harapannya dalam membuatkan madrasah dan pesantren, akhirnya beliau menyempatkan meminta nasihat kepada sang Guru di Benjot tentang hasratnya yang begitu sangat kuat, dan Alhamdulillah beliau mendapatkan secercah jawaban meskipun terasa masih sangat semu, yaitu “Atuh hayang ngabangun mah kudu ngahutang!..itulah jawaban Abuya saat beliau berkeluh kesah atas segala cita citanya, memang sungguh merupakan jawaban yang begitu singkat, namun hal itu sangat meng inspirasi dan membakar semangat beliau.
Setelah beliau mendapatkan jawaban singkat dari sang guru, akhirnya beliau memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya yaitu daerah yang terkenal dengan gula kawung dan kolontongnya, dan akhirnya dengan modal keyakinan yang kuat dan percaya akan doa dari sang guru akhirnya beliau memulai untuk merealisasikan harapannya dengan memberanikan diri Casbon belanja bahan material kepada Bapak Haji Soleh Warungkadu, meski pada awalnya mendapat jawaban yang kurang enak didengar namun pada akhirnya beliau diberi izin untuk ngutang belanja bahan material. Karena bahan yang telah ada belum mencukupi maka beliau belum memulai proses pembangunan, hingga akhirnya ada beberapa orang yang membantu mencarikan pinjaman bahan.
Akhirnya, dengan kalimat Bismillah dan bermodalkan bahan yang telah ada maka akhirnya beliau dapat memulai proses pembangunan madrasah dan pondok santri, hal itu juga tidak terlepas dari kesungguhan beliau dan kerelaan hati mencurahkan fikiran, jiwa dan raga demi cita cita Terbaiknya, bahkan beliau sampai rela membuat semen beureum (semen dari tanah merah) selama dua hari dua malam dengan tangan sendiri, bahkan memotong kayu dan membawanya sendiri untuk dijadikan bahan membuat madrasah dan pondok yang menjadi cita citanya.
Keberhasilan Membangun Madrasah Pertama
Berkat keinginan kuat dan dorongan motivasi serta do’a dari guru gurunya akhirnya beliau dapat menyelesaikan membangun madrasah dan pondok, yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Nurulhuda, yang selanjutnya digunakan untuk menampung santri santri yang bermaksud menimba ilmu pengetahuan dari beliau, kini berdirilah Lembaga pesantren tradisional yang sebelumnya hanya pengajian Santri kalong yang didirikan dan dikelola oleh H.Rafe’i yaitu paman beliau sendiri.
Sejak berdirinya Madrasah dan pondok yang dibangun oleh beliau maka santripun mulai berdatangan, baik santri putra maupun putri, hingga bertambah banyaklah santri santrinya, bahkan disamping santri yang bermaksud mondok, datang pula tamu tamu yang bermaksud meminta bantuan do’a dan minta sari’at penyelesaian permasalahan atau hanya sekedar berkonsultasi. Disamping kedua tugas dan aktifitas mengaji dan menerima tamu, beliaupun kerap menerima panggilan pengajian ke luar daerah bahkan keluar kota, tak jarang beliau mengisi pengajian disertai para santrinya ke tempat yang sangat jauh dan tidak bisa dijangkau kendaraan apapun, bahkan suatu saat beliau harus melintasi dan turun ke sawah hingga didalam sepatunya ditemukan ikan belut, kondisi demikian tentu saja membuat beliau sangat sibuk dan repot, namun demikian hal tersebut sedikit demi sedikit merubah kondisi kehidupan beliau secara bertahap, terutama dibidang ekonomi, hingga akhirnya beliau pun mulai bisa menabung untuk merencanakan menunaikan ibadah haji. Namun rencana untuk menunaikan ibadah Haji terganjal oleh musibah yang terjadi diluar dugaan, dimana beliau sakit yang luar biasa selama kurang lebih satu tahun, dengan kondisi parah yang menuntut beliau untuk tidak melakukan aktifitas apapun, atas dorongan dari sahabat dan orangtua yang mengkhawatirkan kesehatannya, akhirnya beliau sempat di bawa ke dokter yang ada di Cianjur, namun dokter menyatakan hanya kecapean dan beliau hanya perlu istirahat yang cukup.
Konon katanya, beberapa hari sebelum beliau jatuh sakit, ketika waktu itu beliau berada di mihrob masjid beliau kedatangan dua orang yang tidak dikenal, dan mereka mengatakan “Sing sabar nya, anjeun rek di uji” dan mereka mengatakan perkataan itu sambil mengusap ngusap pundak beliau, selang beberapa hari setelah kejadian tersebut pada malam harinya tubuh dibagian perut sampai ke punggung terasa sangat sakit, dan kendisi itu memaksa beliau untuk sakit dan tentunya tidak kuat beraktifitas selama kurang lebih satu tahun, sehingga pengajianpun tak jarang diisi oleh santri santrinya yang telah dewasa.
Perjalanan Spiritual Alam Sukma
Ditengah sakitnya yang menghawatirkan (yaitu tergeletak tanpa sadar) dialam bawah sadarnya beliau kedatangan dua orang, yang menurut pengakuannya adalah Syekh Muhyiddin Pamijahan dan Syekh Aly Idrus Luar Batang, dan mereka mengajak beliau untuk melakukan suatu perjalanan yang cukup jauh, yaitu perjalanan ke Mekkah dan Baghdad serta sebelumnya mereka mengajak beliau untuk mampir di Luar Batang, dan setelah selesai melakukan perjalanan tersebut, beliaupun diantar kembali pulang ke kampung halaman, maka seketika itu pula beliau langsung tersadar dari ketidak sadarannya, namun pada hari lain kejadian tersebut kembali terulang dan beliaupun kembali tidak sadarkan diri, dan hal itu terus berulang ulang.
Hari demi hari dilalui dengan penuh kekhawatiran dan kewaswasan terutama dari sang ibunda dan istri beliau, namun akhirnya atas izin Allah beliau sehat dan bisa melakukan aktifitas seperti biasa, maka beliau pun kembali dapat beraktifitas mengajar dan tentunya melayani tamu tamu seperti biasa, hingga sampailah pada waktu yang telah ditentukan, akhirnya pada tahun 1990 beliaupun terpanggil untuk berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan meninggalkan tujuh orang anak, yaitu : Ai Nurohmah, Siti Nurjamilah, Cucu Nurasiah, Sarip Hamdani, Puadul Hakim, Sundusiah dan Rumlan As’ary. meskipun beliau telah dapat menunaikan ibadah haji, namun hal itu bukan berarti pertanda mapan dalam hal ekonomi, tentu beliau belum bisa melakukan segalanya, termasuk keinginan putri putri beliau untuk mondok mencari ilmu ke pesantren lain, meskipun anak anak beliau sangat menginginkan untuk berangkat ke pesantren, terutama ke tiga putri beliau yang mulai beranjak dewasa, bahkan dari ketiga putri putri beliau ada yang mondok secara sembunyi sembunyi, diluar sepengatahuan beliau berangkat ke pondok karena keinginan sendiri dan diberangkatkan oleh Istri beliau tentunya dengan biaya yang sangat tidak mencukupi, itupun didapatkan dari hasil jualan gorengan yang dijual pada para santrinya.
Ujian yang Kedua Kalinya
Sepulangnya dari tanah suci, beliau diuji kembali oleh Allah Swt dengan ujian yang tidak ringan, yaitu beliau harus rela kembali jatuh sakit seperti yang pernah dialami, bahkan kali ini lebih parah, yaitu dengan kondisi sakit yang tidak biasa, bahkan terkadang beliau bertidak menjadi orang “aneh” seperti layaknya orang yang hilang kesadaran, dan keadaan seperti itu terjadi selama satu tahun, namun berkat doa dan kesabaran setelah melewati satu tahun akhirnya Allah mentaqdirkan untuk mencabut penyakitnya secara berangsur angsur, sehingga kondisinya semakin membaik dan otomatis beliaupun dapat menjalankan aktifitas secara normal, yaitu mengajari para santri dan melayani para tamu yang kian hari kian membludak, sehingga hal itu menjadi salahsatu sebab beliau ditaqdirkan kembali oleh Allah untuk kembali berangkat ke tanah suci untuk menunaikan Rukun Islam kelima bersama Istri dan Ibunya. Sepulangnya dari keberangkatan haji yang kedua, kondisi ekonomi beliau kelihatan semakin membaik dan mapan, hingga beliau mulai melakukan perluasan lokasi Lembaga pendidikan dengan membeli beberapa lahan tanah yang berada diwilayah sekitar pesantren maupun di luar lingkungan pesantren. Dengan bertambahnya santri dan banyaknya tamu yang datang, maka tentunya aktifitas dan waktu beliau semakin padat, dan beliaupun semakin sibuk melayani tamu dan santri yang juga menuntut untuk di ajari, beliau sungguh sangat kelelahan, hingga pada akhirnya pada tahun 2000 beban beliau dalam mengurusi santri sangat terbantu dengan hadirnya salahsatu menantu beliau yaitu salahsatu cucu dari Abuya Benjot dimana dulu beliau pernah menimba Ilmu.
Dia lah menantu kedua beliau yang bernama Samsudin yang biasa dipanggil Mang Acu, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Abby Syams atau Bouya. Dia menikahi putri kedua beliau yang Bernama Nurjamilah yang ketika itu masih mondok di pesantren Al-qur’an Al-Akhyar Bungbulang asuhan dari KH ‘Ushmui yang biasa di sapa Papah. Peran menantu kedua beliau ini yang sekaligus cucu dari guru beliau yang nasabnya tersambung ke Ama Cibitung keturunan Syekh Muhyi Pamijahan dalam mengembangkan dan melestarikan pesantren yang dirintis beliau begitu sangat terlihat, terutama ketika memulai dengan mendirikan Badan Hukum dan beberapa Lembaga Pendidikan yang sebelumnya belum ada, dimana sebelumnya hanya bergerak dibidang pesantren salafiyah dengan model dan manajemen tradisional yang pada akhirnya berkembang dan tendensius ke model modern, hal itu ditandai dengan didirikannya Lembaga Pendidikan TPA/TPQ, madrasah diniyah (DTA), Wajar Dikdas Salafiyah, Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MAS) serta Badan Hukum Kooperasi dibidang wirausaha dan pemberdayaan.
Awal Mula Perkembangan Pesantren
Entah apa yang menjadi alasan, atau mungkin karena ada pertimbangan lain atau karena memang beliau adalah termasuk orangtua yang dibesarkan didunia yang belum mengenal system pendidikan selain system yang telah dan pernah dialaminya, atau mungkin memiliki satu kekawatiran yang pada akhirnya merugikan perjuangan yang pernah dirintisnya, sehingga pada awalnya beliau belum begitu merespon inisiatif menatunya untuk mendirikan Yayasan, maka hal inilah yang mengakibatkan pengangkatan Dewan Penasehat dan Dewan Pembina yang tercatat pada akta Notaris adalah personil yang berada di luar wilayah dimana pesantren itu berada, diantaranya KH.Oking Najmudin dari Benjot alias (guru beliau sendiri ketika mondok di Benjot) dipilih sebagai ketua dewan pembina dan Dudung Rusamsi (Ua Guru) diangkat sebagai dewan pengawas.
Dengan bermodalkan biaya sepuluh Juta rupiah yang didapatkan dari bantuan Bupati Cianjur waktu itu, maka terbitlah Akta Notaris sebagai Payung Hukum, tepatnya pada tanggal 11 Pebruari 2004 pada jam 11.00 di rumah kediaman seorang Notaris bernama Dra. Suci Amatul Qudus SH. yang beralamat diperumahan Jebrod Pasir Hayam, maka sejak saat itu berdirilah secara resmi Lembaga dengan formalitas hukum dengan nama Nurulhuda At-tafsiri, yaitu dengan menambahkan kata At-tafsiri di belakang Nurulhuda sebagai penghormatan kepada beliau dan Tafa’ul dalam pendirian dan pengembangan Lembaga dan badan hukum, maka legalitas hukum itulah yang selanjutnya oleh sang menantu dijadikan titik awal pengembangan lembaga Lembaga yang sebelumnya telah dirintis mulai dirintis, yaitu dimulai dengan mendaftarkan Lembaga kei Kantor Kesatuan Bangsa (Kesbang) serta Dinas Sosial kabupaten bahkan sampai Provinsi, yang selanjutnya menjadi landasan berdirinya beberapa Lembaga Pendidikan social keagamaan.
Pendirian Lembaga Pendidikan
Dengan bermodalkan legalitas dan bukti pendaftaran yang telah didapatkan maka didirikanlah Lembaga Sosial yang mengelola kegiatan kesosialan dan Panti Asuhan (PSAA) Kasih Ibu, dan kemudian disusul dengan terbitnya izin operasional Lembaga Pondok Pesantren (NSPP) dari Kementerian Agama dan sekaligus mendapatkan izin penyelengaraan program Wajar Dikdas Pondok Pesantren (Setara SMP/MTs) atau yang dikenal dengan Program Salafiyah Wustho, termasuk melegalisasi Lembaga Pendidikan Al-Qur’an (TPQ/TPA) yang sebenarnya telah berjalan dengan kegiatannya sejak bulan Juli tahun 2000, yang kemudian disusul dengan terbitnya izin operasional Madrasah Diniyah (DTA) yang merupakan legalisasi dari Sakola Agama dan santri kalong, dan akhirnya pada tahun 2009 berdirilah Madrasah Aliyah (MA) sebagai sarana pendidikan lanjutan dari Program Wajar Dikdas.
Karena beberapa alasan dan pertimbangan akhirnya pada tahun 2010 Program Wajar Dikdas resmi berhijrah menjadi Madrasah Tsanawiyah dengan menyisakan permaslahan yang sangat pelik, namun berkat Kerjasama dan dorongan dari semua pihak semuanya berjalan lancar, seperti halnya Mts maka TPQ /TPA pun ikut bermetamorfosis menjadi Lembaga PAUD yang bergerak dibidang Pendidikan Anak Usia Dini yang berafiliasi ke Dinas Pendidikan yang sebelumnya dikelola oleh Seksi Bimas Kementerian Agama Republik Indonesia.
Formulasi Leadership Generasi Lanjutan
Selama kurun waktu satu dasawarsa pengelolaan semua lembaga pendidikan baik dibidang manajerial maupun operasional, masih bersifat one man show atau one man centered alias dibawah pengelolaan satu tangan, yaitu dibawah tanggungjawab pengelolaan menantu beliau yang berasal dari Benjot sebagai pendiri dan pengembang pertama kali. dan hal itu berjalan sampai putra putri beliau telah dewasa dan pulang (mukim) dari pondok dimana mereka mendulang ilmu dan pengalaman, diantara putra putri beliau yang pada akhirnya menjadi bagian dari pengelola Lembaga pendidikan yang telah berdiri adalah tamatan pondok pesantren Al-Musri dan Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, bahkan ada yang berkesempatan mendulang ilmu di Al-Azhar Cairo Mesir, disamping ketiga putrinya yang sebelumnya telah membantu dalam kegiatan beliau.
Setelah kehadiran putra putri beliau yang telah tamat dari pendidikannya maka formasi kepengurusan lembaga dan payung hukum mulai diperbaharui dan formasi personalia dan leadership mulai diformulasikan dari berbagai backround dan kepribadian yang beragam disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan dari masing masing personal. beliau begitu antusias dan bersemangat dalam memberikan dukungan dan support pada pengembangan pendidikan secara umum, meskipun pada awalnya beliau belum begitu responsible terhadap proses legalisasi dan perubahan system pendidikan, hal itu terbukti dengan terus menerusnya beliau memperluas lahan dan penambahan beberapa fasilitas pendidikan dan pesantren, dari mulai membangun asrama dan fasilitas santri serta membangun ruang kelas Madrasah Tsanawiyah, Asrama Putra dan Putri serta ruang dan fasilitas pendukung lainnya. Semua itu dilakukan karena kecintaan beliau pada ilmu Agama dan tanggugjawab beliau pada keluarga, beliau berharap pesantren yang pernah dirintis dan diperjuangkannya bisa terus berkembang dan dikelola oleh anak dan cucunya secara baik dan professional dan bersama sama, bahu membahu dengan penuh suka cita dan penuh rasa cinta dan kebersamaan, dengan landasan persamaan hak dan kewajiban tanpa ada pemilahan dan marjinalisasidiantara putra putrinya, hal itu terbukti dengan seringnya beliau menyampaikan wasiat dan nasihat kepada anak anaknya untuk tetap rukun, aman dan damai, bahkan tidak jarang beliau mengajak anak anak nya untuk mengikuti pengajian bersama yang dilakukan setiap pekan, hal itu dilakukan untuk membangun kebersamaan dan silaturahmi sebagai modal dasar dalam mengemban amanat yang kelak akan menjadi tanggungjawab bersama.
Silsilah Rundayan Keturunan
Dari hasil pernikahannya, beliau dikaruniai keturunan sebanyak delapan orang, yang terdiri dari lima orang putri dan sisanya adalah laki laki, yaitu ;
(1) pertama adalah : Ai Nurrohmah yang biasa dipanggil Tetehyang menikah dengan Marhasan yang biasa dipanggil Aa berasal dari Pandeglang Banten;
(2) kedua bernama Hj. Nurjamilah yang biasa di panggil Ibuyang berpasangan dengan H.Samsudin dari Benjot (Cucu dari Abuya Benjot) yang familer dipanggil Aby Syams atau Bouya Syams;
(3) ketiga adalah Nurasiah yang biasa di panggil Bunda;
(4) ke empat adalah H. Syarif Hamdani biasa di sapa Abat, yang menikah dengan Hj Ida Qomariah dari Purwakarta biasa di sapa Ummah;
(5) kelima adalah Fu’adul hakim, yang biasa dipanggil Aang, beliau menikah dengan salahsatu putri dari pesantren Baitul Arqom bandung Bernama Neng Silva yang biasa di panggil Ateu;
(6) keenam Bernama Sundusiah Nurhabibah yang menikah dengan Aep Saepudin (Aa Ari) dari Bogor;
(7) ketujuh bernama H. Rumlan Asy’ari Yusuf yang biasa di sapa Gus Rum yang menikah dengan Dede Syamsiah dari Cianjur;
(8) kedelapan adalah Neng Anilah Ulfah yang masih mondok di Baitul Hikmah Tasikmalaya;
Itulah putra putri keturunan beliau yang diharapkan dapat menjadi penerus segala perjuangan beliau dan mampu memanfaatkan segala hal yang telah dirintis dan diperjuangkan sepanjang hayat.
Keistiqomahan dalam Aurod
Beliau adalah merupakan sosok yang kuat dalam membaca amalan wirid, sejak dipondok beliau sudah terbiasa menamatkan amalan amalan tertentu yang telah diijazahkan dari guru gurunya, setiap malam tanpa terlewat selalu membaca amalan wirid, bahkan meskipun beliau dalam keadaan kurang sehat atau sibuk sekalipun, dan kebiasaan tersebut tetap beliau jaga secara istiqomah sampai muqim dan usia lanjut, beliau percaya bahwa amalan aurod dan doa doa merupakan senjata ampuh dalam mengarungi kehidupan baik dunia bahkan akhirat, beliau percaya bahwa “do’a adalah senjata orang beriman” dan perjuangan tanpa doa ibarat berperang tanpa membawa senjata, atau senjata berada ditangan seorang anak kecil.
Diantara amalan yang beliau selalu baca adalah amalan Sholawat yang terkumpul dalam kitab Dalailul Khoiroot hal itu tentu dilakukan atas dasar kecintaannya kepada Rosululloh Saw dan pengharapan atas syafaat di Yaumil ma'ad,
اللهم صل على جسد سيدنا محمد فى الاجساد وصل على قبر سيدنا محمد فى القبور
اللهم بلغ روح سيدنا محمد منا تحية وسلاما
Karomah Beliau
Diantara karomah yang sempat penulis dengar langsung dari penuturan beliau saat berbincang bincang selain Ketika beliau masih mondok yang pernah melihat keajaiban malam seribu bulan, adalah ;
1. Saat beliau masih mondok dibanten Ketika beliau bermaksud melintasi sungai besar saat hujan besar, maka tiba tiba muncul keberanian untuk melintasi tanpa alat bantu apapun, dan tanpa disadari beliau sudah sampai di seberang, dan setelah di perhatikan kaki beliau hanya menginjak air hanya sebatas mata kaki saja.
2. Saat beliau mengisi undangan pengajian disalahsatu daerah di cianjur selatan, diamana beberapa hari sebelumnya juga pernah mengisi pengajian, namun beliau merasakan ada sesuatu yang janggal, dimana saat pengajian penglihatan beliau terasa gelap dan perasaan tidak karuan, maka beliau segera menutup dan mengakhiri pengajian, karena beliau meyakini bahwa beliau dalam pengaruh “serangan” ilmu hitam, maka Ketika beliau tampil pada pengajian kedua kalinya beliau persiapkan dengan berdo’a memohon perlindungan kepada Allah Swt. Maka akhirnya beliau mampu mengisi pengajian selama kurang lebih tiga jam dengan keadaan mustamiin terdiam melohok (gak ada yang bergerak) .
3. Ketika beberapa orang dari tetangga kampung yang bermaksud menyerang ke pesantren karena ada permasalahan salah paham santrinya, namun niat jahat mereka dihentikan oleh beberapa ekor macan yang menghadang mereka di perjalanan.
4. Beberapa testimoni (pengakuan) para tamu yang yang berpuasa di majelis, dan mereka banyak menemukan serta menyaksikan hal hal aneh.
Khitam
Itulah sekilas tentang perjalanan hidup seorang pribadi yang memiliki tanggungjawab dan semangat tinggi, tulisan ini didasarkan dari hasil wawancara langsung dengan beliau serta informasi akurat yang diterima oleh penulis dari guru beliau ketika mondok di Benjot.
Namun demikian, tentu tulisan ini bukan tanpa kesalahan, maka karena itu penulis beristighfar kepada Allah dan meminta maaf kepada beliau atas kesalahan yang mungkin terjadi, namun demikian mudah mudahan tulisan ini memberikan manfaat yang besar, baik untuk penulis maupun pembaca, dan semoga menjadi penyebab datangnya rahmat Allah serta petunjuk untuk bisa mencontoh hal hal dan sifat baik dari beliau.
Akhir kalam semoga Allah perkenankan kita bersama beliau berkumpul dalam naungan bendera komunitas umat Nabi Muhammad Saw. Dan semoga keberkahan senantiasa mengalir dan tercurah kepada beliau, keturunan beliau dan para santri serta pencinta nya sampai hari kiamat.
Amin
سبحانك اللهم وبحمدك اشهد ان لااله الا انت استغفرك واتوب اليك
Walau jarang sowan , hati tetap bersama, bahkan di setiap kesempatan, apa lagi di rasa sempit dalam perjalanan hidup, Selalu bertawasul, meminta syafaat nya, ila yumil jaza,. الفاتحة
Hente bisa kata2 nanaon kur tiasa ngado'a keun liwat jauh ,,
Bi hoyong apal rundayan nana ,
❤️Semoga keluarga at-tafsiri disehatkan selalu amiin🤲