- Posted by : Adi Mulyadi
- on : Thursday, October 14, 2021
By : Bouya Syams
بسم الله الرحمن الرحيم
اَللهُم صَلِّ وَسَلّمِ عَلَى سَيِّدِنَا محمدٍ صَاحِبِ اْلبُشْرَى صَلَاةً تُبَشِّرُنَا بِهَا وَاَهْلَنَا وَاَوْلَادَنَا وَجَمِيْعَ مَشَائِخِنَا وَمُعَلِّمِيْنَا وَطَلَبَتَنَا وَطَالِبَاتِنَا مِنْ يَوْمِنَا هَذَا ِالَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ
Beliau adalah KH. Saifudin bin Muhri bin Akromy atau yang biasa di panggil Abuya Benjot, beliau dilahirkan pada tahun 1910 di kampung Pekalongan Awilarangan Cugenang Cianjur, dan beliau mulai membuka pesantren Benjot pada tahun 1942, beliau adalah sosok ulama karismatik pada zamannya, beliau banyak dikagumi dan dijadikan rujukan dalam Tafaqquh fidd din, dan hal itu terbukti dengan banyaknya kiayi kiayi yang telah dilahirkan, terutama di daerah Jawa Barat bahkan diluar Jawa Barat sekalipun, beliau adalah ulama yang terkenal kepiawaiannya dibidang ilmu Alat, dan Alfiyah Ibnu Malik adalah kesukaannya, ditambah dengan kitab Khudory (syarah Alfiyyah) adalah kegandrungannya, sampai dia berkata “jika kamu ingin mempelajari Alfiyah, maka cukuplah khudhory sebagai rujukan” , maka atas dasar itulah pesantren Benjot memiliki nama Riyadlul Alfiyyah, meskipun sebelumnya bernama pesantren Sukasirna,
Termasuk salah satu bukti karomah dan kepiawaiannya dibidang ilmu nahwu (Alfiyah) adalah ketika pengajian para santri di tahun sebelum kepergian nya, dimana beliau bersama para santrinya saat mengaji kitab Alfiyah lengkap dengan syarahnya, namun setelah pengajian berlalu lama, barulah beliau menyadari bahwa kitab yang dipegang adalah kitab Tafsir jalalen, jadi selama itu beliau mengaji alfiyah dan syarahnya tanpa teks dan tanpa kitab, karena yang dipegang adalah kitab lain, Di samping itu beliau juga adalah sosok ulama yang menjadikan ngaji sebagai thoriqot menuju Allah, hari harinya dihabiskan untuk mengaji, bahkan beliau terkadang membentak pada santrinya yang menekuni amalan amalan wirid tertentu, sementara pengajian diabaikan, dan diantara kata kata guyonannya adalah “Dahar sing Seubeuh, Ngaji sing Seubeuh”.
Bertemu Syekh Ibnu Malik
“Abuya” meskipun beliau terlahir di sebuah keluarga yang kurang mampu, namun beliau sungguh sangat berhasrat untuk belajar ilmu agama, hingga akhirnya beliau mendapat kesempatan untuk bisa berangkat mondok ke pesantren, dan pesantren yang menjadi tujuannya adalah pesantren Cipetir Sukabumi, meskipun harus menjadi pembantu (tukang masak) orang lain. Selama mondok dipesantren tersebut beliau lebih banyak meladeni dan menyiapkan nasi untuk makan teman temannya itu, dan tentunya semua itu beliau jalani dengan penuh kesabaran dan ketabahan, mengingat keinginannya untuk bisa mondok dan belajar agama. Hingga suatu ketika saat musim hujan tiba, dan kayu bakar pun basah dan tentunya menjadi kendala dalam menanak nasi, sehingga nasi yang dihasilkan dari olahan abuyapun ternyata tidak matang secara sempurna, sehingga ketika teman temannya meminta nasi untuk makan, maka mereka merasakan bahwa nasinya memang masih mentah (gigih), maka hal itu tentu membuat teman teman abuya marah, hingga puncaknya nasipun ditumpahkan ke muka beliau, sambil berkata “ Sia mah boro boro ngaji, ngejo oge teu becus”
Sebagai manusia biasa tentu ucapan itu sungguh sangat menyayat hati, namun meskipun demikian beliau dengan sigap menjadikan hal itu sebagai batu pijakan untuk bisa meloncat ke posisi yang lebih tinggi. Akhirnya setelah kejadian saat itu, tepatnya pada hari selasa, dengan penuh kesedihan atas perlakuan teman temannya yang memvonis “tidak akan bisa ngaji” akhirnya pada hari selasa beliau masuk kamar untuk melakukan tirakat, beliau mengasingkan diri dari semua orang selama beberapa hari, selama pengasingan didalam kamar, beliau terus melakukan munajatdan bersholawat dengan tanpa memperdulikan kondisi perut apakah terisi atau tidak samasekali, beliau hanya memikirkan ketidakbenaran vonis teman temannya. Disela sela munajatnya beliau terus membaca dan menghafal kitab AlfiyyahIbnu Malik, semua itu beliau lakukan dalam keadaan gelap gulita tanpa penerang, dan sekali kali beliau menggunakan ‘kaul” alias penuh/pentil keuleuwih sebagai penerang yang membantu penglihatan untuk membaca kitab Alfiyyah.
Setelah beberapa hari berlalu dalam pengasingan, akhirnya tepat pada malam jum’at, terjadilah suatu peristiwa yang diluar nalar manusia biasa, dimana beliau menyaksikan atap kamar seolah olah terbuka, maka dari arah atas (langit) beliau menyaksikan ada seseorang berbaju putih dan bersorban hijau turun menghampirinya seraya mengucapkan salam, maka dengan perasaan tidak karuan Abuya pun menjawab salam orang tak dikenal tersebut dan memberanikan diri untuk bertanya, “Siapakah gerangan wahai fulan?” maka sang tamu tak dikenalpun menjawab “Aku adalah Ibnu Malik” lalu beliaupun menyampaikan kalimat yang membahagiakan bahwa “besok abuya bisa ngaji” [1] dan setelah mengatakan itu maka sang tamu pun berpamit dan kembali meninggalkan abuya.
Setelah kejadian itu, maka Abuya pun sungguh tidak bisa memejamkan mata, karena tidak sabar menanti sang pagi datang, hanya untuk memastikan ucapan sang tamu yang mengatakan bahwa besok beliau akan bisa ngaji, tak lama kemudian pagipun datang dan siangpun menghampiri, maka dengan penuh keyakinan, demi memastikan bahwa ucapan yang tadi malam disampaikan oleh sang (Ibnu malik) adalah benar adanya, maka akhirnya abuya pun dengan penuh keyakinan memanggil dan menantang para santri untuk ngaji kepadanya, dan mempersilahkan mereka semuan untuk membawakan kitab yang mereka miliki, maka tidak lama kemudian para santripun berdatangan dengan membawa kitab masing masing, tentu saja mereka datang hanya untuk memastikan kebenaran ucapan Abuya, namun tidak jarang juga diantara mereka ada yang bersikap acuh tak acuh dan tidak menghiraukan ucapan Abuya, mungkin mereka menganggap bahwa abuya tidaklah waras.
Keesokan harinya, abuyapun meyakini bahwa ucapan sang “tamu” tadi malam ternyata memang benar adanya, disamping itu beliaupun telah memastikan bahwa ucapan temannya yang memvonis “Tidak bisa ngaji” hanyalah kebohongan belaka, karena kini beliau sungguh telah membuktikan bahwa dirinya telah mampu meladeni setiap santri yang datang meski dengan kitab kitab yang asing, bahkan abuya mampu meladeni para santri yang datang selama beberapa hari, hingga akhirnya hal tersebut terpaksa harus dihentikan karena beliau harus menuruti perintah sang guru yang meminta beliau untuk menghentikan perbuatan yang dilakukan itu, dan pada akhirnya sang gurupun mengizinkan abuya untuk pindah mondok ke pesantren lain, karena sang guru dapat memastikan bahwa abuya memang telah dipilih Allah untuk mendapatkan kebaikan.
Mondok di Mama Kaler
Setelah abuya mendapat izin pindah dari gurunya pesantren pertama di Cipetir Sukabumi, maka akhirnya beliaupun pindah, dan tempat yang menjadi pilihannya adalah pesantren Picung (Gentur) yang di pimpin oleh Mama Syatibi, yang populer dengan sebutan Mama Kaler, lokasinya berada di kecamatan Warungkondang, dengan posisi tidak jauh setelah pesantrennya Aang Nuh Gentur, namun menimba ilmu di gurunya yang kedua ini tidaklah lama, mungkin tidak lebih dari enam bulan, bahkan ketika itu terjadi suatu peristiwa, dimana beliau pernah membuat sebuah sya’ir yang ditulis pada selembar kertas yang di tempel dipintu masjid, entah apa yang menjadi permasalahan, akhirnya tulisan tersebut di coret oleh salahsatu santri senior (salahsatu keturunan dari Mama Gentur) waktu itu, tentunya dengan maksud menyalahkan syair tersebut, mendapat perlakuan seperti itu tentu saja abuya tidak senang dan merasa dipermalukan, akhirnya abuya pun mengajak sang seniorpun untuk berdebat tentang syair tersebut, ketika berdebat sang santri senior meminta agar perdebatan mereka di saksikan oleh guru mereka, namun abuya menolak untuk disaksikan oleh guru mereka, dan justru abuya menantang agar debat mereka disaksikan oleh Malaikat Munkar Nakir dan siapa yang salah diantara mereka, maka taruhannya adalah Nyawa alias kematian. Singkat cerita, akhirnya mereka berdua menyepakati hal tersebut, maka merekapun masuk ke kamar masing masing untuk melakukan Mubahalah , selang beberapa malam mereka berada dikamar masing masing, hingga akhirnya terdengarlah salahsatu santri datang mengetuk pintu kamar Abuya, yang mengabarkan bahwa lawan debatnya telah wafat, maka dalam hatinya beliau bergumam “ah eleh ning”
Menjadi Santri Ama Cibitung
Setelah kejadian yang terjadi selama di pesantren Picung, maka akhirnya Abuya pun pindah ke daerah Cibitung untuk berguru ke Mama Nahrowi yaitu generasi ke dua dari mama Ilyas Cibitung yang pernah mondok di Syekh Kholil Bangkalan Madura, karena dianggap abuya telah mumpuni, akhirnya beliau di nikahkan oleh sang guru pada salahsatu anaknya, yang bernama Lughoyah yang waktu itu masih dibawah umur, yaitu berusia sembilan tahun, dan ketika abuya mengeluhkan atas istrinya yang masih kecil, maka sang mertua yang sekaligus gurunya hanya menjawab dengan guyonan “turuban we ku kolor, ke ge badag”. Dari hasil pernikahannya itu, abuya dikaruniai anak pertamanya yang kemudian diberi nama Fahitah(Hajjah Fahitah) atau selanjutnya dikenal dengan sebutan Ummi Kaler, itulah satu satunya anak beliau yang dilahirkan ketika tinggal bersama mertuanya di Cibitung, sementara putra putri beliau yang lainnya dilahirkan ketika beliau sudah berada di Benjot yaitu Hajjah Nafisah, KH.Muhammad Jamaludin dan KH. Jalaludin Kautsar Malik.
Tidak diketahui berapa lama beliau tinggal di Cibitung bersama mertuanya, yang jelas selama disana (karena ketinggian ilmunya) maka beliau mendapat posisi di hati para santri, sehingga para santri di situ benar benar mengidolakan beliau, namun pada akhirnya abuya terpaksa harus pergi meninggalkan kampung halaman sang istri dan mertua nya sendiri sekaligus melepas para santrinya, dan tempat yang menjadi pilihannya adalah kampung Benjot yang waktu itu dianggap sebagai kampungnya jawara, bahkan ditempat itu banyak terdapat perilaku menyimpang seperti judi dan para Banjet(perempuan tidak baik) maka karena itulah kampung itu dinamakan kampung Benjot.
Merintis Pesantren Benjot
Atas jasa nya bapak haji Muhyiyang telah mewakafkan tanahnya, maka abuya pun mulai merintis membangun Masjid dan Pondok, bahkan beliau terlibat langsung dalam membangun dan menjadi tukang tembok dalam membangun pesantren saat itu, hingga akhirnya perjuangan beliau dalam merintis pesantrenpun tergapai, tentu saja hal itu tidak terlepas dari bantuan masyarakat yang mendukung upaya beliau, bahkan tidak sedikit santri santri yang sebelumnya berguru ketika di Cibitung malah ikut pindah dan mengikuti langkah beliau ke Benjot, dan mereka ikut berpartisipasi dalam perjuangan awal abuya, maka akhirnya berdirilah pondok pesantren pertama yang selanjutnya popular dengan sebutan Pesantren Benjot Sukasirna, yang selanjutnya namanya berubah menjadi Riyadlul Alfiyyah, maka akhirnya santri pun mulai berdatangan, dan bahkan tidak sedikit santri santri yang pernah menjadi murid Abuya ketika di Cibitung pun ikut pindah ke Benjot untuk tetap belajar bersama Abuya, dan salahsatu murid Abuya yang mengikutinya sejak dari Cibitung diantaranya Mama Ajengan Cariu Cugenang dan Kiayi Asep CisalakWarungkondang.
Perjuangan beliau dalam membangun sendi sendi peradaban dan pondok pesantren di kampung Benjot tentu bukan tanpa halangan, baik hal yang berkaitan dengan masyarakat maupun luar masyarakat, termasuk diantaranya beliau juga terlibat dalam perjuangan melawan Belanda dan gerombolan, beliaulah yang biasa membuat senjata dari bahan haur koneng dan merajah (memandikan) para santri dan pejuang dalam melawan para penjajah, bahkan beliau pernah ditangkap dan di bawa dengan cara didudukan di atas kap tank baja milik Belanda. Namun disamping ujian itu, tak jarang juga beliau menampakkan kelebihannya, diantara sebagian kelebihan atau karomah beliau adalah, ketika beliau membutuhkan bahan material untuk membangun, maka pada pagi harinya banyak orang yang mengirim kebutuhan bahan material, bahkan beliau dikenal dengan sebutan ajengan derek , hal itu dikarenakan karena tidak kurang dari 21 mobil yang terjermembab ke jurang dan beliaulah yang menarik dari jurang hanya dengan menggunakan seutas tali rapia.
Silsilah dan Sanad Keilmuan
- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan
- Syaikh Utsman bin Hasan ad Dimyathi
- Syaikh Abdullah as Syarqawi
- Syamsuddin Muhammad bin Salim al Hafni
- Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Athiyyah al Khulaifi
- Imam Nuruddin Abi Dhiya Ali bin Ali as Subramilsi
- Nuruddin Ali bin Yahya az Ziyadi
- Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Hajar al Makki
- Syaikhul Islam Zakariyya bin Muhammad al Anshari
- al Hafidz Syihabuddin Abil Fadhl Ahmad bin Ali bin Muh bin Hajar al Asqalani
- al Hafidz Zainuddin Abil Fadhl Abdurrahim bin Husain al Iraqi
- Abil Hasan Ali bin Ibrahim al Aththar ad Damsyiqi
- Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf an Nawawi
- Jamaluddin Abil Hasan Sallar bin Hasan al Irbili
- Muhammad bin Muhammad Shahib asy Syamil shaghir
- Najmuddin Abdul Ghaffar bin Abdurrahim al Quzwaini shahibul Hawi
- Imam Abil Qasim Abdul Karim bin Muhammad ar Rafi`i
- Imam Abu Bakar Muhammad bin Fadhl
- Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yahya an Naisaburi
- Imam Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muh bin Muhammad al Ghazali
- Imamul Haramain Abi Ma`ali Abdul Malik
- Rukunul Islam Abi Muhammad Abdullah bin Yusuf al Juwaini
- Imam Abi Bakar Abdullah bin Ahmad al Qaffal al Marwadzi as Shaghir
- Imam Abi Zaid Muhammad bin Ahmad al Marwadzi
- Abi Ishaq Ibrahim bin Muhammad al Marwadzi
- Abil Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij
- Imam Abil Qasim Utsman bin Sa`id al Anamathi
- Imamul Kabir Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzanni
- Imamul Aimmah Abu Abdillah Muhammad bin Idris as Syafi`i
- Imam Darul Hijrah Abu Abdillah Malik bin Anas
- Imam Nafi` maula Ibnu Umar - Imam Abdullah bin Umar bin Khaththab ra.
- Sayyiduna wa Maulana Muhammad SAW.
Karomah Abuya
Diantara Karomah beliau yang sempat penulis dengar dari saksi hidup selain pertemuan beliau dengan syekh Ibnu Malik pengarang Alfiyah, adalah :
1. Membuktikan kebenaran syi’ir beliau ersam ada yang menyalahkan saat beliau masih mondok dengan bermubahalah, dan lawan mubahalahnya ternyata meninggal.
2. Mengangkat sebanyak 21 kali mobil yang terjerumus ke jurang dan beliau mengangkatnya hanya menggunakan media tali rapia, karena itulah beliau terkenal dengan sebutan ajengan derek
3. Mengangkat/menarik besi yang macet sepanjang puluhan meter dari dalam tanah saat pengeboran sumur dengan tangan kosong.
4. Berkomunikasi dengan makhluk gaib agar tidak menggangu mobil yang ersam itu mogok (gak jalan) karena ada beberapa makhluk gaib ikut menaiki mobil tersebut.
5. Mampu berkomunikasi dengan eyang Suryakancana (penghuni Gunung Gede) dan eyang menyebutnya sebagai “sahabat”.
6. Pengajian kitab Alfiyah ersama para santri berikut syarahnya selama beberapa jam namun dengan memegang kitab yang lain (tafsir Jalalen).
Khitam
Itulah sekelumit kisah perjalanan Abuya Benjot, beliau wafat pada usia 78 tahun, tepatnya pada tanggal 1 bulan Robi’ul Awwal tahun 1986, dengan meninggalkan dua putra dan dua putri, beliau wafat karena sakit yang dideritanya. Sungguh beliau adalah sosok ulama yang sholeh yang memiliki sifat sederhana, bahkan beliau biasa melakukan urusan rumahtangga dengan tangannya sendiri, beliau biasa berbelanja ke pasar dan beliau juga rela mencangkul sawah dengan tangannya sendiri, semua itu beliau lakukan karena memang beliau adalah pribadi yang ikhlas dan sederhana.
Akhir kalam, semoga Allah perkenankan keberkahan ilmu dan kesolehannya pada semua anak anak dan cucunya, dan juga pada murid muridnya, sehingga suatu saat abuya bisa “terlahir” kembali meskipun dalam bentuk fisik yang berbeda, yang tentunya meneruskan perjuangan nya dalam menebar amal dan ilmu untuk bangsa negara dan agama.
Dan kita semua berharap, semoga kita bisa berkumpul bersama beliau dalam naungan bendera komunitas umat Nabi Muhammad Saw. dan semoga keberkahan beliau selalu mengalir kepada semua santrinya, keluarganya, turunannya, dan para pencinta beliau.
Amin.
سبحانك اللهم وبحمدك اشهد ان لااله الا انت
استغفرك واتوب اليك
[1] Abuya menambahkan ceritanya, katanya “ulah pipilueun kana partai politik jeung ulah nyandung (kecuali taqdir)